Unsur “Kerugian Negara” Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Berkenaan Dengan Pelanggaran yang Dilakukan Oleh Pejabat Perbankan BUMN
Oleh: Ritwan Imanuel Tarigan, S.H., M.H.
Legal Issue:
Masih belum adanya kesepahaman pendapat di dalam hal memahami apakah tepat kiranya menempatkan pelanggaran yang dilakukan oleh perjabat perbankan dalam hal status bank tersebut adalah Bank BUMN. Salah satu bentuk pelanggaran yang berkaitan dengan kegiatan usaha perbankan adalah misalnya saja adanya penyimpangan pemberian kredit yang mengakibatkan kemacetan. Dalam hal permasalahan kredit macet tersebut dikucurkan oleh bank, di mana dalam proses pemberian kredit tersebut terindikasi adanya kecurangan dalam usaha perbankan maka yang perlu dikaji lebih lanjut adalah bagaimana rambu-rambu hukum dalam pemberian kredit perbankan. Sepanjang keputusan kredit (yang pada akhirnya menjadi kredit macet) diambil berdasarkan bussines judgement, diputus tanpa adanya conflict of interest dan telah accountable maka tidak akan menjadi masalah secara pidana.
Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah ketika terindikasi memang dilakukan atas dasar kecurangan sehingga mesti dimintakan pertanggungjawaban pidana, pertanyaannya adalah apakah tepat kiranya menjerat pelanggaran tersebut, apalagi notabenenya bank tersebut adalah Bank BUMN dengan tindak pidana korupsi. Mengenai hal yang saya sebut terakhir ini masih ada ketidakseragaman pendapat. Oleh karenanya, saya mencoba untuk menganalisis dengan memberi pendapat hukum (legal opinion) yang kiranya dapat bermanfaat. Adapun perbedaan pendapat berdasarkan hasil analisis saya ini adalah wajar sepanjang disertai dengan pijakan atau dasar hukum yang jelas.
Legal Analysis:
Analisis ini saya berikan dengan metode deduktif dan induktif hukum serta logika hukum. Metode deduktif dilakukan dengan melihat hukum positif sebagai suatu norma yang berkarakter ought to atau das sollen1 untuk menemukan kebenaran hukum, mengenai status unsur kerugian negara dalam pelanggaran pejabat perbankan BUMN.
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan yang ada di setiap Negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perseorangan, badan-badan usaha swasta, Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disingkat BUMN), bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya pada sebuah bank tertentu. Selain itu juga bank melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
Bank dalam usahanya untuk menghimpun dan menyalurkan dana sangat berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat, sehingga bank wajib menjaga dengan baik dana yang disimpan oleh nasabah serta dana yang telah disalurkan kepada masyarakat. Usaha ini sangat penting untuk dilaksanakan oleh pihak perbankan dalam upaya untuk mewujudkan prinsip pemberian kredit yang sangat hati-hati dan semakin selektif sebagai salah satu langkah awal untuk menghindari risiko kredit macet. Langkah lain yang perlu diperhatikan oleh bank adalah kejelian bank dalam melihat kegiatan usaha pihak debitur, permodalan serta tersedia tidaknya barang jaminan atau agunan.
Sejalan dengan perkembangan dunia perbankan dan berbagai bentuk pelanggaran yang ada, terdapat pula beberapa pelanggaran oleh pejabat perbankan yang ditenggarai mengarah pada sebuah tindak pidana. Tindak pidana bidang perbankan yang cenderung semakin meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya sehingga dapat menjadi ancaman bagi sistem perbankan sendiri dan akan berdampak pula kepada perkembangan perekonomian nasional. Bank sering kali dijadikan sebagai objek atau sarana oleh pelaku tindak pidana dengan tujuan keuntungan pribadi atau kelompok. Tindak pidana ini dapat dilakukan oleh pengurus bank, pegawai bank, nasabah atau pihak lain yang dilakukan secara sendirian maupun berkelompok.
Salah satu bentuk tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha perbankan adalah sebagaimana saya contohkan di awal yaitu adanya penyimpangan pemberian kredit yang mengakibatkan kemacetan. Adanya kredit macet dalam usaha perbankan sebenarnya suatu hal yang lumrah karena bank memang berjualan risiko, hanya saja apakah kredit macet itu karena hal yang normal akibat kinerja usaha yang tidak sesuai dengan anggaran atau karena ada sesuatu kecurangan (fraud) di dalamnya. Dalam hal permasalahan kredit macet tersebut dikucurkan oleh bank BUMN, di mana dalam proses pemberian kredit tersebut terindikasi adanya kecurangan dan prinsip kehati-hatian dalam usaha perbankan maka yang perlu dikaji lebih lanjut adalah pengenaan peraturan yang lebih khusus yakni Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena tindakan pejabat Bank BUMN tersebut seringkali mengakibatkan kerugian negara yang demikian besar.
Kebijakan usaha perbankan yang mengakibatkan kerugian negara ini menjadi salah satu perkembangan analisa bentuk tindak pidana korupsi baru, seiring pergerakan ekonomi yang semakin maju dan kompleks, khususnya dalam bidang perbankan, kaitannya dengan proses pemberian kredit pada nasabah. Permasalahan administratif dan kebijakan otoritas pejabat perbankan menjadi permasalahan yang menarik di mana terjadinya kredit macet sekedar masalah administratif dan risiko usaha perbankan semata ataukah ada penyebab yang merupakan unsur tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi.
Dua unsur pokok dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah unsur “perbuatan melawan hukum” dan unsur “merugikan keuangan negara”. Terhadap unsur “perbuatan melawan hukum” ini perlu dicermati secara hati-hati karena seorang pejabat perbankan mempunyai kewenangan dalam pemberian kebijakan kredit yang bersifat jugdement berdasarkan perhitungan bisnis usaha perbankan.Pembuktian adanya perbuatan melawan hukum pejabat bank pemberi kredit tidaklah mudah karena dalih kebijakan dan kewenangan seorang pejabat serta didasari dengan pedoman-pedoman pemberian kredit yang sifatnya tidak baku karena berkaitan dengan usaha yang bersifat mencari keuntungan corporate.2
Saya mengangkat contoh aktual permasalahan hukum dalam pemberian dana talangan (bail out) Bank Century yang dilihat dari berbagai aspek hukum. Bukan maksud saya untuk setuju atau tidak setuju adanya pelanggaran dalam kasus tersebut, akan tetapi, apabila dikaji dalam lapangan hukum administrasi tindakan yang dilakukan Bank Indonesia dan pemerintah untuk memberikan dana talangan (bail out) kepada Bank Century adalah perbuatan atau tindakan kebijakan atau diskresi yang bersumber dari prinsip kebebasan bertindak atau discretionary power atau freis ermessen atau beleidsvrijheid. Perbuatan diskresi atau kebijakan berada di ranah hukum administrasi negara, sehingga kajiannya mau tidak mau harus melihat dari sudut administrasi pula. Dalam hukum administrasi negara suatu diskresi dapat dibenarkan jika dipenuhi beberapa syarat:3
a. Pertama, pengambil keputusan berwenang menurut hukum, tanpa wewenang suatu diskresi adalah tindakan sewenang-wenang (arbitrary, willekeur);
b. Kedua, tujuan melakukan tindakan (keputusan) sesuai dengan hukum (legal purposeful);
c. Ketiga, pilihan-pilihan melakukan tindakan dilakukan dengan hati-hati (carefulness, zorgvuldigheid, fair, tidak melampaui wewenang (non deternement de pouvoir), dapat dipertanggungjawabkan, reasonable dan lain-lain. Pertimbangan lain yang secara keseluruhan dalam rangka pelaksanaan asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (the principles of good administration atau beginselen van behoorlijk bestuur). Konteks kebijakan dalam pemberian kredit dan pengelolaan perbankan secara umum maka padanan syarat ketiga ini ini adalah asas kehati-hati (prudential principles) sebagaimana ditekankan dalam undang-undang Perbankan.
Tindakan administrasi termasuk tindakan kebijakan dapat memenuhi unsur pidana apabila dengan sengaja (by intention, opzet) dilakukan dengan penyalahgunaan wewenang sehingga memiliki unsur pidana tertentu, misalkan korupsi. Dalam unsur perbuatan korupsi selain unsur tindakan kebijakan yang melawan hukum maka yang perlu dibuktikan adalah adanya kerugian keuangan negara. Pengertian keuangan negara sangatlah luas dan sangatlah vagueness (tidak jelas, tidak definitif) dan overly broad atau overbreath (berlebihan), sehingga menjadikannya multitafsir. Hal ini salah satunya disebabkan banyaknya definisi keuangan negara/uang negara dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Kemudian terkait adanya unsur “merugikan keuangan negara” terhadap kerugian dalam hal adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat Bank BUMN, maka yang perlu mendapat kajian lebih lanjut adalah status dana kerugian tersebut, mengingat harta kekayaan negara yang digunakan atau disertakan sebagai modal dalam bank BUMN terdapat beberapa pendapat berdasarkan pada peraturan yang berbeda. Pada beberapa bank BUMN yang telah berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dalam pengelolaannya adalah didasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut Undang-undang Perseroan Terbatas) dan terhadap harta kekayaan negara yang disertakan sebagai modal (inbreng), terpisah bukan lagi merupakan harta negara tetapi menjadi milik BUMN dan dikelola serta tunduk pada Undang-undang Perseroan Terbatas.
Fatwa Mahkamah Agung No.WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 keluar atas permintaan Menteri Keuangan karena adanya ketidaksesuaian tentang ketentuan penyertaan kekayaan Negara pada BUMN dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badang Usaha Milik Negara. Dalam Undang-undang Keuangan Negara diatur bahwa keuangan negara meliputi kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN/BUMD, sehingga pengelolaannya didasarkan pada sistem APBN. Namun, dalam Undang-undang BUMN, pengelolaan penyertaan negara pada BUMN didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Menurut Fatwa Mahkamah Agung itu, ketentuan dalam Undang-undang Keuangan Negara tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-undang BUMN yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-undang Keuangan Negara.
Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, secara tegas dalam Pasal 4 menentukan bahwa kekayaan negara yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “dipisahkan” adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
Adanya kerancuan mengenai piutang BUMN tersebut terjadi pula dalam hal penyelesaian piutang BUMN, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kekayaan yang dipisahkan atau diinvestasikan kepada BUMN adalah bukan merupakan piutang negara, namun selama ini penyelesaian piutang BUMN/BUMD diperlakukan sebagai piutang negara. Dalam Pasal 1 angka 6 Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayarkan kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”. Cermati pula pengertian kerugian negara berdasarkan Pasal 1 angka 22 Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara “kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun kelalaian”. Dengan adanya pengertian ini maka berkurangnya kekayaan negara yang diinvestasikan oleh negara apapun bentuknya karena perbuatan melawan hukum seseorang maka hal tersebut merupakan kerugian negara.
Dengan pemisahan kekayaan negara tersebut, seharusnya piutang yang terdapat pada Bank BUMN sebagai akibat adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat Bank BUMN bukan dianggap sebagai piutang negara. Sejalan dengan itu, pengelolaan termasuk pengurusan atas piutang BUMN tersebut tidak dilakukan dalam koridor pengurusan piutang negara melainkan diserahkan kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Berdasarkan pemikiran tersebut, maka Bank BUMN memiliki kewenangan/keleluasaan dalam mengoptimalkan pengelolaan pengurusan/piutang yang ada pada Bank BUMN yang bersangkutan.4
Atas dasar fatwa Mahkamah Agung No.WKMA/Yud/20/VIII/2006 yang menyatakan bahwa piutang BUMN bukan merupakan Piutang Negara, yang berarti pengurusan piutang BUMN dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan BUMN, sudah jelas kiranya tidak lagi menempatkan kerugian yang terdapat di dalam Bank BUMN itu masuk dalam unsur “merugikan keuangan negara”. Ketika terjadi pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pejabat Bank BUMN, tidak lagi menjeratnya dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, akan tetapi dapatlah dijerat dengan Tindak Pidana Perbankan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Conclusion:
Memperhatikan dari apa yang saya uraikan di atas, dapat ditarik garis besar atau kesimpulan di mana adalah tidak tepat menempatkan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pejabat Bank BUMN ketika terjadi kerugian dalam Bank BUMN tersebut dengan Tindak Pidana Korupsi. Bank BUMN adalah ditempatkan layaknya Perseroan Terbatas yang terdiri dari Organ yang sama dengan Organ Perseroan Terbatas pada umumnya, yaitu adanya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewa Komisaris. Kekayaan negara yang ditempatkan dalam Bank BUMN itu demi hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 dianggap sebagai kekayaan negara yang terpisah. Sehingga, unsur “kerugian negara” dalam Undang-Undang Tipikor menjadi tidak dapat dibuktikan di sini.
Kekayaan negara yang dipisahkan di sini adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Bank BUMN. Alhasil, pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat Bank BUMN, maka ketentuan pidana yang semestinya digunakan adalah tindak pidana perbankan sebagaimana termuat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Footnote:
1. Pemilahan ini berdasarkan teori hukum dari Immanuel Kant, di mana dalam memahami hukum dalam 2 (dua) bidang akal praktis, yaitu ada 2 (dua) segi:das sein, yaitu apa yang ada (faktisitas atau kondisi objektif di lapangan), dan das sollen, yaitu apa yang seharusnya atau yang di-hukum-kan. Bandingkan Bernard L. Tanya, et al, 2007, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan Kedua, Surabaya: CV Kita, hal. 91
2. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia bahwa: “Gubernur, Deputi Gubernur Senior dan/Pejabat BI tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang sepanjang dilakukan dengan itikad baik”.
3. Bagir Manan, Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana, Makalah, disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISULA), Semarang, 20 Januari 2010
4. Rakernas Mahkamah Agung tahun 2010 di Balikpapan Kalimantan Timur pada 13 Oktober 2010. Dalam hasil rumusan komisi Perdata dan Perdata Khusus terdapat kesepahaman mengenai penyitaan harta kekayaan negara, yang memisahkan antara kekayaan negara yang disertakan sebagai modal (inbreng) BUMN dan yang dikelola secara langsung.
Seranai Pustaka
Bernard L. Tanya, et al, 2007, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan Kedua, Surabaya: CV Kita, hal. 91
Bagir Manan, Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana, Makalah, disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISULA), Semarang, 20 Januari 2010
Hasil Rakernas Mahkamah Agung tahun 2010 di Balikpapan Kalimantan Timur pada 13 Oktober 2010
Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas