MERENUNG KEMBALI: HUKUM ADAT SEBAGAI SARANA UNTUK MEWUJUDKAN KEDAMAIAN

MERENUNG KEMBALI: HUKUM ADAT SEBAGAI SARANA UNTUK MEWUJUDKAN KEDAMAIAN*

Oleh : Ritwan Imanuel Tarigan, S.H., M.H.

Ketika masuk semester dua di bangku kuliah pada Fakultas Hukum di salah satu kampus negeri di Bumi Tambun Bungai, saya begitu antusias menerima satu mata kuliah yaitu Hukum Adat. Kala itu kira-kira sebelas tahun yang lalu, di mana “konstitusi” hukum saya masih dalam proses membangun. Saya mendapati alangkah menariknya esensi di dalam hukum adat yang berintikan pada keunikan, kekhasan, serta penunjukkan jati diri sebuah entitas bahwa ada aturan yang hidup di dalam masyarakat. Aturan ini tidak tertulis, namun benar-benar riil dan hidup. Karenanya, hukum adat juga sering kali disebut sebagai the living law (hukum yang hidup). Hukum adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan di dalam tatanan hukum nasional.

Secara khusus, saya percaya bahwa eksistensi hukum adat Dayak di Kalimantan Tengah juga masih ada sampai saat ini. Pemerintah Daerah bahkan juga memberi pengakuan bahkan pijakan bagi keberadaan hukum adat Dayak di Kalimantan Tengah. Sebagai contoh adalah adanya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 1 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Hukum adat menurut Pasal 1 angka 17 dalam Perda tersebut adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani masyarakat dan tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Saya berpendapat bahwa rumusan yang diberikan dalam Perda tersebut sudah sangat jelas memberi ruang agar hukum adat Dayak dapat memberikan gerakan yang simultan dari tujuan hukum secara umum yaitu menghadirkan keadilan bahkan kedamaian bagi semua lapisan masyarakat.

Salah satu ahli hukum yang wajib diketahui oleh setiap “jebolan” Fakultas Hukum, L.J. Van Apeldoorn mengatakan bahwa untuk kedamaian hukum, masyarakat yang adil harus diciptakan dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu dan lainnya. Hukum adat Dayak mejembatani setiap masyarakat untuk melihat kedalaman hati nurani ketika dihadapkan dengan permasalahan hukum. Hukum adat menawarkan sebuah pemulihan keadaan dan hubungan agar karateristik dan norma yang ada di dalam masyarakat tetap terjaga dengan damai dan harmonis. Menarik untuk mempertanyakan lebih jauh adalah bagaimana lantas keberadaan hukum adat dengan hukum positif atau hukum yang saat ini berlaku. Saya merasa ini kelihatannya merupakan pertanyaan “usang”, dan seringkali ditanyakan ketika duduk di bangku kuliah. Namun, saya hanya sedikit bernostalgia, atau me-rekontemplasi (merenungkan kembali) sampai sejauh mana hal ini benar-benar hidup di tengah masyarakat adat.

Sebuah kesan yang mendalam hingga saat ini saya rasakan ketika terjun langsung sebagai praktisi hukum. Banyak sekali permasalahan hukum yang seharusnya bisa dipulihkan, diselesaikan dengan prinsip dan semangat hukum adat, namun harus berujung kepada pertikaian yang panjang. Saya tidak bermaksud skeptis dengan proses penegakan hukum yang ada saat ini. Akan tetapi, harus diakui bahwa ketika permasalahan hukum itu diselesaikan dengan proses formal yang ada, justru memunculkan permasalahan baru. Tentu yang saya maksudkan di sini adalah permasalahan dengan kualifikasi tertentu, yaitu yang semestinya bisa diselesaikan dengan berdamai. Tidak ada jaminan ketika seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman, dapat menjadi lebih baik ketika selesai menjalani hukumannya. Tidak ada jaminan seseorang bisa bertobat dan tidak mengulangi perbuatannya. Bahkan, yang mungkin tidak pernah terlintas di pikiran kita adalah tidak ada jaminan hubungan antara para pihak yang bermasalah dapat dipulihkan.

Baru-baru ini yang masih hangat diperbincangkan adalah kaburnya narapidana dari Rumah Tahanan di Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Riau dan memberi kesan kepada kita bahwa pengisolasian seorang pelaku kejahatan dari masyarakat tidak menjamin berakibat pada kesadaran, penyesalan, dan pertobatan dari pelaku kejahataan tersebut. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa ternyata narapidana yang ada di rumah tahanan melebihi kapasitas yang seharusnya, bahkan sampai 5 (lima) kali lipat. Belum lagi praktek-praktek pungutan liar (pungli) dan kekerasan yang sudah bukan rahasia umum sering kita dengar.

Dalam praktek penyelesaian permasalahan hukum dibeberapa daerah yang saya amati, ternyata masih ada saja seberkas lilin-lilin kecil yang bersinar. Di beberapa tempat yang pernah ditangani, dengan semangat dan nilai-nilai hukum adat, permasalahan yang ada peluang untuk diupayakan berdamai, dapat dilakukan. Fokus kepada pemulihan hubungan kedua belah pihak dapat diwujudkan. Saya mengambil contoh kasus yang terjadi di sebuah Desa di Kabupaten Sidoarjo dan yang terjadi baru-baru ini di Kolaka, salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara. Keduanya sama-sama merupakan kasus perkelahian bahkan membawa massa yang menimbulkan penganiayaan. Awalnya, proses secara normatif ditempuh hingga sampai kepada penetapan tersangka. Namun, ketika diupayakan untuk berdamai dengan pendekatan yang mutlak mengedepankan nilai-nilai hukum adat, akhirnya kedua kasus tersebut berhasil diselesaikan. Kerugian yang diderita salah satu pihak menjadi tanggungan yang harus dipulihkan oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Apresiasi mendalam juga patut dialamatkan kepada kepolisian setempat yang membuka ruang untuk berdamai. Dengan perdamaian, hubungan para pihak dapat dipulihkan kembali. Semua saling merangkul satu sama lain, bahkan sampai air mata pun tidak terbendung mengiringi proses damai.

Kerinduan dan kedambaan mendalam saya dari adalah dapat melihat hukum adat Dayak juga membawa fenomena demikian. Kiranya cahaya lilin dari seberang dapat menghidupkan keadaan hukum di Bumi Tambun Bungai. Nilai-nilai luhur untuk menciptakan kedamaian yang sudah dimiliki dalam hukum adat Dayak kiranya dapat diaplikasikan di dalam kehidupan secara nyata. Tentu,  ini adalah tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya dibebankan kepada penegak hukum. Setiap orang perlu lebih dahulu menyadari bahwa damai itu indah. Konsep yang selama ini dibangun bahwa ketika ada masalah harus berperkara, dan menyelesaikan masalah satu-satunya adalah melalui berperkara, perlahan-lahan perlu dikikis. Saya merasa ini memang pekerjaan yang berat, namun tidak mustahil untuk dilaksanakan. Bila ada permasalahan yang memiliki peluang untuk berdamai, kenapa tidak dilakukan pendamaian. Sekali lagi: Damai itu indah.

*) Tulisan ini dimuat di Rubrik Opini Kalteng Pos (Jawa Pos Grup) pada tanggal 13 Mei 2017.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *